Moutogami Blog
Website Anime Streaming Moutogami lagi pengembangan

Ibuki X Gunting. Cerita Kontroversial Ibuki Dan Sensei


Warning: Artikel dan cerita di bawah ini mengandung konten sensitif yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian pembaca, termasuk: kehamilan di bawah umur, kehilangan janin, trauma emosional, tindakan medis yang mengejutkan, serta kematian karakter. Jika kalian tidak siap secara mental atau sedang berada dalam kondisi rentan, disarankan untuk meninggalkan artikel ini terlebih dahulu.

 Kisah ini bermula dengan senyuman—seorang gadis muda berlari kecil, memperlihatkan perut yang tengah membesar. Ia bahagia, penuh harapan, membayangkan masa depan anak laki-laki yang sedang tumbuh dalam dirinya. Namun di balik sorot matanya yang jernih, kenyataan diam-diam menunggu untuk merobek semua itu.


Tokoh sentral dalam cerita ini, Ibuki, berada pada titik yang rapuh dalam hidupnya. Ia mempercayai seseorang yang ia panggil dengan penuh kasih—Sensei. Namun kepercayaan yang besar itu tidak berbalas dengan pelindungan yang semestinya. Yang terjadi justru sebaliknya: rasa percaya itu dipatahkan, perlahan, hingga seluruh dunia yang ia bangun runtuh tanpa ampun.


Melalui interaksi mereka, kita dihadapkan pada percakapan yang terasa ringan di awal, namun berubah menjadi sangat gelap dan memilukan. Cerita ini menyingkap sisi terdalam dari ketakutan, keputusasaan, dan kehilangan yang tidak bisa dihindari.


Tidak ada jawaban mudah dalam kisah ini. Hanya luka, air mata, dan sisa-sisa harapan yang tak sempat tumbuh.


Kisah ini merupakan terjemahan dari sebuah thread karya pengguna X (@Bluearchimeigen) yang dapat ditemukan di sini.


Cerita Ibuki X Gunting

Ibuki yang tengah menginjak usia kehamilan lima bulan berlari kecil ke arah Sensei. Senyum cerah menghiasi wajahnya, rona bahagia terpancar jelas dari sorot matanya.

"Sensei! Lihat deh!" serunya sambil menunjuk ke perutnya yang kini tampak membulat. "Perutku sudah sebesar ini, lho~!"

Ia membelai perutnya dengan lembut, lalu menatap Sensei dengan penuh harap.

"Karena anakku laki-laki... aku ingin dia tumbuh jadi seseorang yang keren dan kuat… seperti Sensei."

Sensei diam sejenak. Tatapannya mengambang, seolah kata-kata sulit keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat, ia tersenyum tipis, dan berbisik pelan, "…Iya, benar juga…"

Namun, di balik senyuman itu, pikirannya bergejolak. Suara-suara dari masa lalu datang silih berganti, seperti luka yang belum sempat mengering.


---

(Ingatan)

Yuuka: "Ibuki-chan hamil!? ...Itu tidak mungkin!! Sensei, apa Anda menyentuh Ibuki-chan!? Sungguh, Anda itu yang terburuk. Tolong jangan dekati kami lagi. Menjijikkan."

Noa: "...Maaf, Sensei. Hari ini saya izin pulang dulu. Sisanya akan saya kerjakan besok... Permisi."

Momoi: "M-Midori!!! Midori!!! Jangan gegabah begini!!! Kita belum tahu apa benar atau tidak, kan!?"

Alice: "Kalau ada bayi, artinya kita dapat teman baru—"

Momoi: "Alice, diam!!!"

Sensei mengembuskan napas dalam, mencoba menyingkirkan kegaduhan dalam benaknya. Ia menatap Ibuki dengan ekspresi sulit dibaca, lalu mengangkat tangan sedikit, mengisyaratkan sesuatu.

"Ibuki, ke sini sebentar," ucapnya, tenang, namun suaranya menyimpan makna yang tak terucap.

Ibuki mendekat dengan langkah ringan. Senyum khasnya masih menghiasi wajahnya, membuat suasana seolah tak pernah berubah. Ia memiringkan kepala, rambutnya terayun pelan.

"Ada apa, Sensei?" tanyanya dengan nada manja, polos, seperti dunia ini tak pernah menyakitinya.

Sensei terdiam. Tangannya bergerak cepat, mengaktifkan sebuah alat. Suaranya bergema lirih, memecah ketenangan.

Ibuki menatap alat itu dengan rasa ingin tahu.

"Itu... apa ya? Pe-an? Itu dari tim Kesatria Pertolongan, kan?" tanyanya, bingung namun berusaha tenang.

Sensei menatapnya dengan mata yang berat. Napasnya tertahan.

"Maaf..." bisiknya.

Dan saat itu, terdengar suara halus namun tajam dari tangannya. Suara yang tak seharusnya hadir di antara percakapan mereka.

"A-Agh!! Itu sakit!! Sensei!? Sensei!? Kenapa!? Kenapa ini terjadi!?"

Ibuki terhuyung, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya pucat, matanya memohon jawaban yang tak pernah datang.

Sensei menatapnya dalam. Napasnya berat. Ia menunduk, lalu berkata:

"Kamu... tidak bisa melahirkan anak itu."

Air mata mulai membasahi wajah Ibuki. Tubuhnya menggigil, bibirnya bergetar.

"A-agh... (suara tangis tertahan) ...Sensei... tolong, berhenti..."

Tatapannya panik. Ia berusaha mencari penjelasan, tapi hanya menemukan kesunyian.

"Sensei... h-hikk... itu... itu apa?" suaranya bergetar lirih.

Sensei menelan ludah. Lalu, dengan suara yang hampir tak terdengar:

"Itu... bagian dari bayinya."

Ibuki: "Ti...tidak... Aaaaa...."

Sensei: "Maaf... Ibuki. Ini demi kebaikan..." (Ia meneguk ludah, lalu mengeluarkan sisanya.)


Beberapa menit kemudian...

Ibuki terbaring diam. Matanya kosong, menatap langit-langit tanpa fokus. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas, seperti tak lagi merasakan apa pun.

Sensei duduk di sampingnya. Wajahnya menyimpan kesedihan yang tak bisa dijelaskan. Tangannya gemetar.

"Maafkan aku," ucapnya pelan. "Tim medis darurat sedang dalam perjalanan."

Ibuki menggenggam tangannya dengan lemah. Air matanya kembali jatuh.

"Anak... anak Sensei... anak kita... hikk... aku ingin bermain bersamanya. Ke taman. Mengajarinya menggambar... hikk... memperkenalkan dia ke Makoto-senpai, dan Iroha-senpai... menunjukkan betapa lucunya dia... betapa manisnya..."

Tangisnya pecah, penuh kepedihan dari harapan yang tak sempat terwujud. Ibuki jatuh pingsan.

Dari kejauhan, suara kendaraan medis mulai terdengar.

Tak lama, Sena datang berlari. Wajahnya tegang.

"Sensei! Apa yang terjadi? Saya dengar Ibuki-san terluka."

Sensei mengangguk pelan. "Ibuki terkena ranjau di taman. Organ dalamnya terluka parah."

Sena membeku sesaat, lalu berseru, "Mobu-chan, siapkan tandu!"